Beltim, Wartakum7.com – Pasca penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang larangan sementara ekspor produk minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya sejak 28 April lalu berimbas pada penjualan Tandan Buah Segar (TBS) petani kelapa sawit di Belitung Timur.
Ditemui usai Rapat Fasilitasi Dampak Pemberlakuan Permendag nomor 22 Tahun 2022 terhadap pembelian TBS petani kelapa sawit di Beltim, Selasa (10/05/2022), Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan, Trijaka Priyono mengatakan beberapa perusahaan besar kelapa sawit yang ada di Beltim tidak bisa melakukan penjualan CPO dan produk turunannya.
“Larangan ekspor secara nasional ini berdampak kepada perusahaan-perusahaan CPO di Beltim, karena kapasitas penyimpanan CPO di pabrik pengolahan kelapa sawit sudah hampir penuh, pembelian TBS milik masyarakat pun jadi terhambat,” ujar pria yang akrab disapa Jaka.
Dikatakannya, kondisi ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, khususnya bagi petani kelapa sawit. Ia menghimbau kepada perusahaan-perusahaan pembeli TBS agar tidak membeli dengan menetapkan harga sepihak dan bisa menggunakan kuotanya agar dapat menerima TBS dari masyarakat Beltim.
“Perusahaan-perusahaan yang beli TBS itu tidak boleh menentukan harga sepihak. Harus sesuai keputusan hasil rapat tim penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang di keluarkan setiap bulannya,” ujar Jaka.
Ditemui di kesempatan yang sama, Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Perdagangan Kabupaten Beltim, Liatim menjelaskan meski kebijakan pemerintah ini bertujuan baik untuk meningkatkan ketersediaan dan menurunkan harga minyak goreng di pasar lokal, namun di sisi lain Ia berharap larangan ekspor CPO dan produk turunannya tidak terlalu lama sehingga tidak menganggu kelangsungan usaha industri sawit khususnya di Beltim.
“Pemda akan berkoordinasi ke Kementerian Perdagangan RI terkait peraturan larangan ekspor ini untuk ditinjau kembali. Supaya kebijaksanaan pemerintah jalan dan petani kita bisa tetap eksis,” jelasnya.
Ditambahkan Liatim, Permendagri nomor 22 tahun 2022 ini bersifat tidak permanen atau bisa di evaluasi setiap bulannya atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
“Bergejolaknya masalah ini bukan hanya di Belitung Timur tapi se Indonesia, bisa saja nanti peraturannya di evaluasi dan kebijakannya berubah sehingga bisa win-win solution hasilnya,” tutup Liatim.* As/ hms