Purwakarta/Wartakum7.Com
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara. Di Indonesia, Pemilu 2024 menjadi tantangan besar bagi bangsa ini untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan yang ada. Pemilu Legislatif dan Presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 dan pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024 tentunya menjadi sebuah perhelatan akbar yang seluruh elemen masyarakat akan terlibat langsung di sana.
Perhelatan akbar ini perlu disikapi dengan baik oleh semua pihak karena berdasarkan data pada Tahun 2022 dan 2023 terdapat 171 Kepala Daerah, yang terdiri dari 17 Provinsi, 115 Kabupaten, dan 39 Kota, yang akan berakhir masa jabatannya, dan pada tahun 2024 akan dipilih anggota DPD RI sebanyak 152 orang, DPR RI sebanyak 580 orang, DPRD di 38 Provinsi sebanyak 2.372 orang, DPRD di 508 Kabupaten/Kota sebanyak 17.520 orang.
Pemilihan tersebut sangat erat memicu terjadinya konflik horizontal bahkan mungkin vertikal di kalangan masyarakat sehubungan dengan ketertarikan dan keberpihakan terhadap calon yang maju dalam konstalasi dimaksud. Beberapa ancaman yang mungkin bisa saja terjadi diantaranya :
1. Disintegrasi masyarakat
Pemilu dapat menjadi momen penting dalam memperkuat atau melemahkan integrasi masyarakat. Disintegrasi masyarakat dalam pemilu terjadi ketika ada perpecahan atau pemisahan dalam masyarakat akibat perbedaan pandangan politik yang dipegang oleh kelompok-kelompok yang berbeda. Disintegrasi masyarakat dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti adanya ketegangan sosial, konflik antar kelompok, atau bahkan kekerasan fisik.
Disintegrasi masyarakat dalam pemilu dapat terjadi jika terdapat praktik-praktik politik yang tidak fair atau melanggar aturan, seperti penyebaran hoaks atau fitnah, intimidasi, atau pembelian suara. Selain itu, disintegrasi masyarakat juga dapat terjadi jika terdapat perbedaan pandangan politik yang sangat tajam dan dipertajam oleh retorika politik yang memecah belah masyarakat.
2. Politik identitas
Politik identitas merujuk pada praktik politik yang memanfaatkan identitas sosial dan budaya sebagai dasar untuk memobilisasi dukungan politik dalam suatu kelompok masyarakat. Identitas sosial dan budaya yang dimaksud dapat berkaitan dengan agama, etnis, gender, orientasi seksual, atau bahkan hobi dan minat tertentu.
Dalam politik identitas, kelompok-kelompok masyarakat diberikan perhatian khusus dan diorganisir dalam basis identitas mereka sendiri. Hal ini bertujuan untuk memperkuat solidaritas dalam kelompok tersebut, serta memperkuat dukungan politik terhadap partai atau kandidat tertentu yang dianggap mewakili identitas mereka.
Namun, praktik politik identitas juga dapat memperkuat perpecahan dan konflik antar kelompok dalam masyarakat. Hal ini terjadi ketika praktik politik identitas dipolitisasi dengan cara yang memecah belah masyarakat dan memperkuat sentimen kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok lain.
3. Dikotomi masyarakat
Dalam konteks Pemilu, dikotomi masyarakat dapat merujuk pada pemisahan masyarakat menjadi dua kubu atau pihak yang berbeda dalam dukungan politik dan pandangan ideologis. Dalam praktiknya, dikotomi masyarakat dapat terlihat dalam berbagai aspek, seperti dukungan politik terhadap partai atau kandidat tertentu, pandangan terhadap isu-isu politik tertentu, serta orientasi ideologis atau agama.
Dalam Pemilu, dikotomi masyarakat dapat berdampak pada polarisasi politik dan meningkatnya ketegangan antar kubu yang berbeda pendapat. Hal ini dapat memperumit proses demokrasi dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mencapai konsensus dalam menyelesaikan isu-isu politik penting.
Solusi atau Ilusi ?
Netralitas ASN sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 5 menyatakan bahwa ASN dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik kemudian di Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa ASN dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada kepentingan politik praktis. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, Pasal 70 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa dalam kampanye calon dilarang melibatkan ASN, anggota Polri dan anggota TNI. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, Pasal 5 secara tegas melarang PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: a). Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b). Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c). Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye)
Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada ASN dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, Pasal 11 menyebutkan bahwa dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu ASN dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik.
Aturan tentang netralitas ASN ini tentunya menjadi rambu – rambu bagi para “abdi praja“ dalam mengarungi pelaksanaan pemilu secara serentak di Indonesia. Netralitas ASN ini diharapkan sebagai sarana pemersatu bangsa karena fungsi ASN sebagai fasilitator penyelenggaraan pemilu 2024. Muncul sebuah pertanyaan, apakah ASN mampu mempertahankan Netralitasnya ?
Hal ini menarik untuk dikaji lebih dalam karena peran ASN yang cukup vital dalam pelaksanaan pemilu nantinya. Berdasarkan data dari Bawaslu menyebutkan bahwa terdapat 914 temuan pelanggaran netralitas ASN pada pemilu 2019. Apakah angka ini akan bertambah, berkurang atau tetap di tahun 2024 tentunya akan mempengaruhi stabilitas dalam Negeri.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyebutkan bahwa pegawai ASN berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa, dengan ketidaknetralan tersebut akan memberikan sebuah ancaman keberpihakan dari ASN selaku fasilitator dan bahkan penyelenggara pemilu untuk merusak harmonisasi demokrasi. Ancaman akibat ketidaknetralan ASN dalam pemilu 2024 adalah terganggunya pelayanan publik yang dilakukan oleh ASN sehingga akan berpotensi memecah persatuan dan kesatuan di masyarakat.
Netralitas bukan hanya disikapi sebagai aturan namun sebagai kode etik dasar dan integritas dalam perilaku keseharian ASN saat memberikan pelayanan publik. Fungsi ASN berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan bahwa pegawai ASN berfungsi : 1). Pelaksana kebijakan publik; 2). Pelayan publik; serta 3). Perekat dan pemersatu bangsa.
Ketika ASN mengalami disorientasi dalam pelaksanaan tugas berkaitan dengan netralitasnya maka dikhawatirkan terjadi pemilihan dan pemilahan anggota masyarakat ketika mendapatkan haknya dalam pelayanan publik, tentunya hal ini sangat berbahaya karena akan mengancam disintegrasi bangsa.
Netralitas ASN sebagai pemersatu bangsa berdasarkan fakta di lapangan susah sekali dilakukan karena ASN walaupun secara aturan harus netral akan tetapi masih memiliki hak pilih. Sehubungan dengan hal tersebut maka ASN akan melakukan upaya untuk melaksanakan hak tersebut seperti melakukan dukungan terhadap calon peserta pemilu yang ada.
(Joko/ Dodi)