Wartakum7.com | *KORUPTOR* LEBIH TAKUT MISKIN DAN HILANG HARTA, KETIMBANG KURUNGAN BADAN DI PENJARA.
*BUTUH ATURAN KHUSUS YANG BISA MERAMPAS KEKAYAAN PEJABAT NEGARA YANG MENINGKAT SECARA SIGNIFIKAN, TAPI ASAL-USUL KEABSAHANNYA TIDAK BISA DIJELASKAN (_ILLICIT ENRICHMENT_).*
_Pejabat publik dan ASN dianggap melakukan suatu tindakan pengayaan terlarang (ILLICIT ENRICHMENT) apabila selama menjabat sebagai Pejabat publik dengan sengaja memperkaya diri sendiri secara tidak sah dengan tidak dapat menjelaskan hubungan yang rasional antara pendapatannya dengan (gaji atau bukan gaji) yang sah / legal dengan peningkatan kekayaannya yang tidak seimbang dengan pendapatannya (sah/legal) selama menjabat (unexplained wealth)._
*ILLICIT ENRICHMENT* biasanya diterapkan terutama untuk pejabat publik dan ASN karena mereka memiliki akses yang luas terhadap sumber daya negara dan posisi kepercayaan publik. Namun, di beberapa negara, konsep ini diterapkan juga untuk warga biasa jika terdapat bukti kekayaan yang tidak dapat dijelaskan dari sumber pendapatan yang sah.
*ILLICIT ENRICHMENT* adalah situasi di mana seseorang mengalami peningkatan signifikan dalam aset yang tidak dapat dijelaskan secara rasional berdasarkan penghasilan.
Konsep ini sering digunakan untuk menargetkan korupsi, di mana individu mengumpulkan kekayaan diluar pendapatan yang sah.
Beberapa negara yang menerapkan konsep ini untuk warga biasa termasuk :
_*AUSTRALIA*_ : beberapa negara bagian di Australia memiliki undang-undang _ILLICIT ENRICHMENT_ yang berlaku untuk semua individu, bukan hanya pejabat publik. Undang-undang ini digunakan untuk menargetkan pelaku kejahatan dengan kekayaan yang tidak dapat dijelaskan.
_*KENYA*_ : di Kenya, _ILLICIT ENRICHMENT_ bukan pelanggaran pidana tetapi dapat ditangani melalui tindakan perdata.
_*MAURITIUS*_ : mirip dengan KENYA, MAURITIUS memiliki undang-undang berbasis prosedur perdata untuk menangani _ILLICIT ENRICHMENT._
*PERAMPASAN ASET* adalah proses hukum di mana pemerintah mengambil alih aset yang diduga terkait dengan aktivitas criminal, PERAMPASAN ASET bisa berupa *perampasan pidana* (setelah ada vonis pidana) / _criminal forfeiture_ atau *PERAMPASAN SIPIL* (tidak memerlukan vonis pidana) / _civil forfeiture._
*Di Indonesia, meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC yang mengatur tentang ILLICIT ENRICHMENT, hingga saat ini belum ada aturan spesifik yang mengatur _illicit enrichment_ dalam undang-undang nasional. Namun, ada upaya untuk mengembangkan RUU Perampasan Aset yang dapat mencakup mekanisme untuk menangani ILLICIT ENRICHMENT.*
Secara umum, hukum *ILLICIT ENRICHMENT* biasanya ditujukan untuk PEJABAT PUBLIK karena mereka memiliki akses yang lebih luas terhadap sumber daya negara dan posisi kepercayaan publik. Namun, dalam beberapa yurisdiksi, aturan ini bisa diperluas untuk mencakup siapa saja, termasuk rakyat biasa, jika terdapat bukti kekayaan yang tidak dapat dijelaskan dari sumber pendapatan yang sah.
Pada tahun 2003 telah lahir sebuah Konvensi PBB Melawan Korupsi _(UNCAC : United Nation Convention Against Corruption)_ yang disahkan di Merida, Mexico. Indonesia adalah salah satu negara pihak yang telah menandatangani dan meratifikasi UNCAC melalui UU Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC.
Dalam UNCAC yang diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006, diatur tentang pemidanaan terhadap *ILLICIT ENRICHMENT*. UNCAC meyakini bahwa membuat pengaturan tentang ILLICIT ENRICHMENT bukan saja untuk mencegah dan memberantas korupsi tetapi juga untuk kerjasama internasional dan _asset recovery_ yang optimal.
Pengaturan tentang ILLICIT ENRICHMENT dalam UNCAC terdapat dalam *Article 20* :
_”Subjects to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as maybe necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, *illicit enrichment*, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his his or her lawful income”._
Terjemahan bebasnya sebagai berikut :
_”Tunduk pada konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, masing-masing Negara wajib mempertimbangkan untuk mengadopsi tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk menetapkan sebagai tindak pidana ketika dilakukan dengan sengaja suatu perbuatan memperkaya diri sendiri dengan tidak sah, yaitu adanya peningkatan secara signifikan pada aset kekayaan pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara wajar dan masuk akal sehubungan dengan pendapatannya dengan pendapatannya yang sah menurut hukum”._
Sebagai negara peserta UNCAC, dan meskipun Indonesia telah meratifikasi dalam hukum positifnya, akan tetapi ketentuan tentang ILLICIT ENRICHMENT belum menjadi delik dalam sistem hukum dan UU Tipikor.
Upaya untuk mengatur ketentuan ini dapat dilihat pada RUU Tipikor untuk merevisi UU Tipikor No. 31/99 _jo._ UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
*Ratifikasi* adalah merupakan persetujuan Kepala Negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang ditunjuk dengan sebagaimana mestinya.
Dengan meratifikasi UNCAC, Indonesia mempunyai sejumlah kewajiban untuk melakukan standarisasi internasional agar UNCAC bisa mempunyai kekuatan pemberlakuan bagi Indonesia.
Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan UNCAC untuk menyelesaikan masalah korupsi Indonesia yang sudah melintas batas negara (_cross border_).
Mengatur *ILLICIT ENRICHMENT* dapat memperkuat UU Tipikor dan UU TPPU. Sebab, UU Tipikor dan UU TPPU punya keterbatasan untuk mengejar asset-aset yang diduga berasal dari hasil korupsi.
Setidaknya ada 5 (lima) keunggulan pengaturan _ILLICIT ENRICHMENT :_
_1. Memiskinkan koruptor dengan menerapkan pembalikan beban pembuktian (pembuktian terbalik); dimana Terdakwa harus membuktikan asal-usul kekayaannya secara maksimal._
_2. Menguatkan fungsi pelaporan LHKPN sehingga tidak cenderung bersifat formalitas dan tanpa sanksi bagi pejabat yang bohong tentang kekayaannya._
_3. Memudahkan pembuktian jika dibandingkan dengan UU Pencucian Uang, pasal gratifikasi, dan bahkan pembuktian terbalik di UU Tipikor._
_4. Menyerang langsung pada motivasi melakukan korupsi (pengumpulan kekayaan)._
_5. Mendistribusikan kekayaan yang dirampas untuk negara bagi keadilan yang lebih luas, seperti untuk sektor pendidikan, kesehatan atau pelayanan dasar lainnya._
Di dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan tentang beban pembuktian masih sangat konvensional, dengan pendekatan legisme yang terkadang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Dalam peraturan hukum acara pidana di Indonesia, terdapat ketidakjelasan perumusan norma pembalikan beban pembuktian.
Disatu sisi beban pembuktian pada penuntut umum berdasarkan Pasal 66 KUHAP yang isinya : _“Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”_ dan Pasal 31 ayat (1) UU Tipikor : _“Terdakwa memiliki hak untuk membuktikan dalam sidang pengadilan”,_ yang memberikan ruang bagi pembuktian terbalik.
Padahal beban pembuktian terbalik _(shifting burden of proof)_ menjadi pilihan yang logis dalam pemberantasan korupsi yang dikualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (_extraordinary crime_).
*Saran Penulis :*
(1) Agar pengaturan *_Illicit Enrichment_* ini dapat dibentuk dan disahkan secepatnya, diusulkan dinyatakan tidak berlaku surut sehingga tidak menimbulkan resistensi yang keras dari pejabat publik, DPR, dan pimpinan Parpol.
(2) Semua UU terkait penegakkan hukum dalam tindak pidana ekonomi seperti Tipikor, TPPU, Perampasan Aset, *_Illicit Enrichment_* dan lain sebagainya yang terkait, dijadikan *_Omnibus Law_* untuk mempermudah proses penegakkan hukumnya.
Jakarta, 13 Oktober 2024
*Sumber referensi :*
_- Bayu Miantoro, Pengaturan Illicit Enrichment di Indonesia, Bandung : 2020._
_- Naskah Akademik RUU Perampasan Aset, Jakarta : 2018_.
_- Yunus Husein, Penjelasan Naskah Akademik RUU Perampasan Aset, Jakarta : 2019_.
_- Artidjo Alkotsar, Urgensi Pengaturan Illicit Enrichment untuk Meningkatkan Efektifitas Penegakan Hukum Tipikor, FH UII, Yogyakarta : 2019_
_- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasn Tipikor._
_- UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC._
_- UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU_.