PASAL-PASAL KONTROVERSIAL DALAM KUHP BARU

PASAL-PASAL KONTROVERSIAL DALAM KUHP BARU

Spread the love

 

Oleh : M. JAYA S.H., M.H., M.M.

Wartakum7.com | Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 6 Desember 2022. Setelah melalui perdebatan yang panjang oleh para pakar hukum, pengamat, akademisi, DPR dan Pemerintah : akhirnya Presiden bersama DPR berhasil mengesahkan KUHP dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023, serta berlaku efektif 3 tahun setelah itu yaiitu 2 Januari 2026.

Pengesahan ini sekaligus menjadi akhir dari perjalanan _*Wetboek van Strafrecht (WvS)*_ peninggalan Belanda yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1918 (kurang lebih selama 105 tahun).

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia telah dimulai sejak 1964, dimana pada tahun tersebut disusun draft konsep Buku I RUU KUHP sampai konsep RUU KUHP 2015 (Buku I dan Buku II). Setidaknya terdapat 26 draft RUU KUHP yang telah disusun sampai dengan 2022, artinya sudah 61 tahun berjalannya usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

Setelah membaca dan mengamati, ternyata terdapat pelbagai pasal yang kontroversial, antara lain :

*1. Pasal 2*, terkait hukum yang hidup dalam masyarakat.
*2. Pasal 46*, terkait pidana korporasi.
*3. Pasal 100*, terkait hukuman mati.
*4. Pasal 412*, terkait pidana perzinaan dan kohabitasi.
*5. Pasal 509*, aturan dan ancaman bagi Advokat.
*6. Pasal 603-606*, tentang tindak pidana korupsi.

Mari kita simak dan analisa pasal-pasal tersebut :

*1. Pasal 2 KUHP baru*

Pasal 2 mengatur tentang *”hukum yang hidup”** atau *”living law”*, Pasal ini mengakui adanya hukum yang hidup di tengah komunitas masyarakat, yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mempidanakan seseorang, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam KUHP.

Hukum yang hidup ini berlaku di tempat hukum tersebut hidup dan sepanjang tidak diatur dalam KUHP. Selain itu, penerapannya harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan tantangan, terutama dalam memastikan bahwa penerapan hukum adat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum nasional.

Selain itu, Pasal 2 ini menjadikan tidak senafas asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP, yang dapat menjadikan ambiguisitas dan multitafsir dalam penerapannya.

*2. Pasal 46 KUHP baru*
Pasal 46 mengatur tentang pidana korporasi, yang dalam UU KUHP sebelumnya tidak terdapat ketentuan mengenai hal tersebut.

Luasnya pengaturan dalam UU tersebut berimplikasi terhadap berbagai sektor termasuk dunia bisnis.

KUHP baru mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.

Bunyi Pasal 46 : Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dipertanggungjawabkan, jika termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi; menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; diterima sebagai kebijakan Korporasi; Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/atau Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.

*3. Pasal 100 KUHP baru*
Terdapat perbedaan pengaturan tentang hukuman mati yang didalam KUHP lama tidak diatur.

Pidana mati dalam KUHP baru diatur sebagai hukuman yang bersifat khusus dan alternatif, dengan ketentuan sebagai berikut :

Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau
Peran terdakwa dalam Tindak Pidana
Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap
Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung
Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atau perintah Jaksa Agung

*4. Pasal 412 KUHP baru*

Kohabitasi atau dalam Bahasa Belanda disebut *samenleven* memiliki arti hidup bersama sebagai pasangan tanpa ikatan perkawinan.

Pasal 412 dinilai merupakan ranah privasi orang perorangan yang tidak selayaknya diatur oleh negara melalui hukum nasional. Pasal ini juga dianggap akan menghambat investasi dan berdampak pada sektor pariwisata.

Pengaturan mengenai kohabitasi ini merupakan hal yang baru dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia. KUHP (WvS) warisan Belanda sebelumnya hanya mengatur mengenai perzinaan.

Pasal 412 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Pasal 412 ayat (1) merupakan delik formil, yaitu delik dianggap selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang tanpa memperhatikan akibatnya. Artinya, jika unsur orang laki-laki dan perempuan hidup bersama seperti suami istri diluar perkawinan yang sah sudah terpenuhi, orang tersebut dapat dipidana sesuai ketentuan tanpa harus menunggu akibat dari hidup bersama tersebut.

Dalam pasal ini terminologi “orang” ialah laki-laki dan perempuan baik yang sudah menikah keduanya dengan pasangan masing-masing, terikat pernikahan salah satunya maupun keduanya belum menikah sama sekali.

Hal ini berbeda dengan tindak pidana perzinaan yang diatur dalam KUHP lama yang mensyaratkan adanya ikatan perkawinan untuk salah satu atau kedua pelaku tindak pidana perzinaan.

Pasal 412 ayat (1) ini juga bisa dibilang sebagai perluasan dari tindak pidana perzinaan, di mana tindak pidana perzinaan mensyaratkan adanya “persetubuhan” untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.

Lebih lanjut dalam Pasal 412 ayat (2) mengatur bahwa, “terhadap pidana sebagaimana diatur dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: 1. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau; 2. Orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.”

Pasal ini menegaskan bahwa tindak pidana kohabitasi merupakan *delik aduan absolut*, artinya delik ini hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau menjadi korban. Dalam pasal ini delik aduannya memiliki batasan yang jelas mengenai pihak yang dapat mengadukan tindak pidana tersebut.

Dimana jika tidak ditetapkan batasan, maka akan terjadi main hakim sendiri dari masyarakat kepada orang-orang yang diduga melakukan kohabitasi.

Pihak yang dapat mengadukan tindak pidana kohabitasi hanya suami/istri, bagi orang yang terikat dalam perkawinan dan orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Sehingga, jika ada aduan terkait tindak pidana kohabitasi namun tidak dilakukan oleh dua kategori di atas, maka aduan tersebut tidak dapat diproses.

*5. Pasal 509 KUHP baru*

Pasal 509 KUHP baru menimbulkan kekhawatiran di kalangan advokat terkait hak imunitas mereka. Secara umum, hak imunitas advokat melindungi Advokat dari tuntutan pidana atau perdata saat menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik, baik di dalam maupun di luar persidangan.

Pasal 509 KUHP baru mengatur sanksi pidana bagi advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau pailit.

Hal ini dapat mengkriminalkan advokat yang sedang menjalankan tugasnya, terutama jika advokat tidak mengetahui bahwa informasi yang diberikan oleh kliennya itu tidak benar.

Beberapa advokat telah mengajukan uji materi terhadap pasal ini ke Mahkamah Konstitusi, dengan alasan bahwa pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengancam martabat serta kehormatan profesi advokat.

Selama advokat bertindak berdasarkan itikad baik dan sesuai dengan kuasa yang diberikan oleh klien, mereka seharusnya tidak dapat dituntut.

*6. Pasal Tipikor dalam KUHP baru*

Pasal 603 KUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menurunkan ancaman pidana badan yang semula minimum 4 tahun menjadi 2 tahun. Pidana denda juga dipangkas dari minimum Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta.

Perubahan juga terlihat pada Pasal 604 KUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Lama pidana badan memang meningkat dari minimum 1 (satu) tahun menjadi 2 tahun.

Hal ini menjadi irasional karena subjek hukum yang diatur dalam pasal ini adalah pejabat atau penyelenggara negara. Seharusnya, ancaman pidana pasal tersebut lebih berat karena pejabat tersebut telah menyalahgunakan kewenangan/mandat publik kepadanya.

Penurunan ancaman pidana ini tentunya akan membuat koruptor semakin jauh dari efek jera. Mengingat, dengan ancaman pidana yang lebih tinggi saja dalam kasus konkret vonis terhadap koruptor relatif rendah.

Berdasarkan catatan tren vonis ICW sepanjang 2022, dari 2.056 putusan dengan 2.249 terdakwa, rata-rata pidana penjara terdakwa korupsi pada 2022 adalah 3 tahun 4 bulan.

Lagi pula, dalam naskah akademik UU KUHP tidak ada jawaban ilmiah yang menjelaskan secara detail alasan penurunan ancaman pidana tersebut. Penurunan ancaman pidana yang tidak berimbang dengan kasus korupsi yang semakin masif merupakan bentuk konkret kurang seriusnya komitmen legislator dan pemerintah dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Dalam KUHP baru tidak mengatur mengenai pidana tambahan berupa uang pengganti. Padahal uang pengganti adalah aspek yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi yang tidak hanya fokus untuk membuat jera koruptor tetapi juga sebagai upaya memulihkan keuangan negara.

Dalam catatan ICW (2022), kerugian negara mencapai Rp 48,786 triliun namun uang pengganti hanya sebesar Rp 3,821 triliun. Tentunya dengan ketiadaan uang pengganti, pemulihan kerugian negara akan semakin jauh panggang dari api.

Selain itu, RUU Perampasan Aset yang sangat penting perannya dalam memulihkan kerugian negara sampai saat ini belum menjadi RUU Prioritas.

Rumusan definisi kerugian keuangan negara yang tercantum pada penjelasan Pasal 603 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak hanya berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK.

Jika mengikuti definisi keuangan negara di UU KUHP, akan berdampak pada jangka waktu penanganan kasus karena berdasarkan pengalaman, audit BPK membutuhkan banyak waktu sehingga berpotensi menghambat penetapan tersangka.

Dengan dimasukannya pasal tipikor ke dalam KUHP baru, berpotensi menghilangnya peran KPK dalam penindakan tipikor, dikarenakan berpotensi terjadi negosiasi antara penyidik dan pelaku tipikor terkait pasal yang akan diterapkan, pelaku tipikor akan merasa lebih aman apabila diterapkan pasal tipikor dalam KUHP,

*Upaya Hukum melalui Judicial Review*

_Judicial review_ adalah mekanisme penting untuk memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan sesuai dengan konstitusi dan tidak melanggar hak-hak warga negara.

Undang-undang (UU) yang belum diberlakukan secara resmi atau belum diimplementasikan dapat diajukan untuk judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Judicial review bertujuan untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, dan hal ini dapat dilakukan baik sebelum maupun setelah undang-undang tersebut diberlakukan.

Orang atau pihak biasanya mengajukan **judicial review** ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menguji konstitusionalitas dari suatu undang-undang. Beberapa alasan mengapa judicial review diajukan meliputi:

1. **Perbedaan Interpretasi**: Ada perbedaan interpretasi antara undang-undang yang berlaku dengan UUD 1945.
2. **Kerugian Konstitusional**: Pihak yang mengajukan merasa dirugikan oleh berlakunya undang-undang tertentu yang bertentangan dengan hak-hak konstitusional mereka.
3. **Pembatasan Hak**: Undang-undang yang diuji dianggap membatasi atau melanggar hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh UUD 1945.
4. **Ketidaksesuaian dengan Prinsip-prinsip Konstitusi**: Undang-undang yang diuji tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam konstitusi.

Dengan alasan-alasan Judicial Review tersebut, beberapa pasal dalam KUHP yang berpotensi menimbulkan ambiguisitas dan multitafsir dalam penerapannya perlu diajukan pengujian melalui Mahkamah Konstitusi.

*Kesimpulan dan Saran Penulis*

1. Pengaturan pidana mati berpotensi sangat menjunjung tinggi HAM bagi Terpidana, akan tetapi belum memenuhi rasa keadilan bagi korban.
2. Pidana *_kohabitasi / samenleven_* perlu diantisipasi oleh kalangan industri pariwisata dan perhotelan agar privasi tiap orang terlindungi.
3. Ancaman kriminalisasi Advokat dalam menjalankan tugas perlu disikapi oleh *organisasi advokat.*
4. Tindak pidana korporasi tidak relevan diterapkan dalam KUHP karena dapat menimbulkan ketakutan bagi dunia usaha.
5. Delik korupsi dalam KUHP masih memiliki beberapa catatan. Adanya anggapan bahwa korupsi bukan lagi merupakan kejahatan luar biasa tidak hanya sekedar memasukkannya ke dalam KUHP, tetapi juga pada orientasi pemidanaan yang semakin menjauhkan terpidana dari efek jera dan ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
6. Landasan historis UU Tipikor dibuat dalam suasana batin reformasi yang menginginkan korupsi dicabut sampai akarnya. Sehingga perlu upaya lebih untuk memberantasnya; bukan dengan memasukkan delik korupsi dalam KUHP, tetapi dengan merevisi UU Tipikor dan mengesahkan RUU Perampasan Aset.
7. Akan terjadi perdebatan teoritis mengenai delik korupsi, yaitu bersentuhan dengan dua asas paling fundamental dalam dogmatika hukum pidana yaitu : Asas _*lex specialis derogat legi generali*_ (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum). Yang kedua asas *_lex posterior derogat legi priori_* (hukum yang terbaru mengesampingkan hukum lama).
7. Perlu diajukan judicial review terhadap pasal-pasal yang berpotensi adanya pelanggaran terhadap HAM dan pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945.

Jakarta, 16 Oktober 2024

Sumber Referensi :
_–Gray Anugrah Sembiring, Problematika Delik Korupsi dalam KUHP, Jakarta : 2023._
_-Nanda Narendra Putra, KUHP Baru dan Nasib Pemberantasan Korupsi, Jakarta : 2023_
_-Hukum Online_
_-Detik.com_
_-UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP._
_-UU tentang Tipikor_