Jakarta | Wartakum7.com – 05 Juli 2023 Secara umum, jenis eksepsi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni eksepsi formil atau prosesuil dan eksepsi materiil.
Eksepsi prosesuil, adalah eksepsi yang didasarkan pada keabsahan formil suatu dakwaan atau gugatan.
Secara garis besar, Eksepsi prosesuil dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu, eksepsi kewenangan mengadili dan eksepsi di luar kewenangan mengadili.
Eksepsi kewenangan mengadili meliputi:
Eksepsi tidak berwenang secara absolut, yang berkaitan dengan kekuasaan mengadili dan pembagian lingkungan pengadilan.
Eksepsi tidak berwenang secara relatif, yang berkaitan dengan kewenangan relatif pengadilan dan pembagian lingkungan pengadilan.
Sementara itu, eksepsi prosesuil di luar kewenangan mengadili terdiri dari:
Eksepsi tidak sahnya surat gugatan:
Eksepsi ini mempermasalahkan tidak terpenuhinya syarat formalitas gugatan secara umum, seperti terkait keabsahan pihak yang menandatangani surat gugatan.
Eksepsi tidak sahnya surat kuasa :
Eksepsi ini mempermasalahkan status pemberi atau penerima kuasa, seperti apakah surat kuasa dibuat orang yang berwenang atau surat kuasa yang tidak memenuhi syarat formil.
Eksepsi error in persona :
Eksepsi ini mempermasalahkan gugatan yang tidak melibatkan pihak yang seharusnya dilibatkan atau pihak yang dilibatkan dalam gugatan tidak memiliki kepentingan langsung dengan pokok gugatan.
Eksepsi nebis in idem :
Eksepsi ini mempermasalahkan perkara yang sama yang telah dijatuhkan putusan oleh pengadilan sebelumnya._
Eksepsi obscuur libel :
Eksepsi ini mempermasalahkan surat gugatan yang kabur atau tidak jelas._
Eksepsi Plurium litis consortium :
Merupakan eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat cacat formil, karena pihak yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap.
Eksepsi materiil adalah, Eksepsi yang didasarkan pada substansi gugatan. Eksepsi ini bertujuan agar hakim tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil gugatannya bertentangan dengan hukum perdata (hukum materiil).
Eksepsi materiil terdiri atas :
Eksepsi dilatoir, Eksepsi yang menyatakan gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan karena masih prematur.
Eksepsi peremptoir, Eksepsi yang berisi sangkalan yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan.
Dengan demikian, apabila eksepsi yang disampaikan oleh Tergugat yang diterima oleh majelis hakim, maka mejelis hakim menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima _(Niet Ontvankelijke Verklaard/NO).
Exceptio non adimpleti contractus, umumnya dikenal dalam hukum perjanjian. Prinsip ini dipergunakan dalam kondisi dimana salah satu pihak melakukan wanprestasi justru karena pihak lain telah terlebih dahulu melakukan wanprestasi.
Exceptio non adimpleti contractus, ini merupakan suatu eksepsi atau tangkisan untuk menyatakan bahwa salah satu pihak belum memenuhi prestasi yang ditetapkan oleh karenanya ia tidak dapat menuntut pihak lain wanprestasi.
Prinsip exceptio non adimpleti contractus, dapat diartikan sebagai suatu bentuk pembelaan bagi salah satu pihak (debitur), untuk mendapatkan pembebasan terhadap kewajiban untuk membayar ganti rugi akibat tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah disepakati, dengan alasan bahwa pihak yang lain (kreditur) juga telah lalai.
Apabila salah satu pihak menuntut pihak yang lain karena wanprestasi padahal jelas bahwa ia terlebih dahulu melakukan wanprestasi, maka pihak yang dituntut itu memiliki kesempatan untuk mengajukan tangkisan.
Tangkisan/eksepsi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangkan sepanjang dapat dibuktikan pihak yang menuntut itu telah secara nyata melakukan wanprestasi terlebih dulu.
Prinsip Exceptio non adimpleti contractus, tidak dapat dipisahkan dalam hukum perjanjian. maka perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai seluk beluk ketentuan hukum perjanjian itu sendiri.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian dibahas dan dapat ditemukan dalam buku ketiga yang menjelaskan tentang perikatan. Perikatan dan perjanjian memiliki hubungan yang berkaitan.
Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan, bahwa _“tiap- tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang”.
Perjanjian disebut juga dengan persetujuan, karena dalam perjanjian itu kedua pihak sama-sama saling setuju terhadap sesuatu yang disepakati. Perjanjian dan perikatan dapat dibedakan, bahwa pada dasarnya perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan disamping sumber-sumber lain.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian adalah perikatan, tetapi tidak setiap perikatan merupakan perjanjian.
Perjanjian jual beli selaku perjanjian timbal balik, mewajibkan kedua belah pihak untuk melakukan prestasi, maka dari itu sebelum kreditur dapat mengajukan tuntutan kepada debitur atas dasar wanprestasi, dengan kata lain, kreditur harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lain.
Hal tersebut merupakan suatu ketentuan umum yang patut dan logis, karena kalau kreditur sendiri wanprestasi, bagaimana ia mau mempersalahkan orang lain atas dasar wanprestasi.
Exceptio non adimpleti contractus_ merupakan salah satu bentuk tangkisan dari tuduhan adanya wanprestasi.
Adapun tangkisan ini dapat dimaknai sebagai upaya hukum yang memungkinkan salah satu pihak untuk menahan pekerjaannya sendiri, disertai dengan hak untuk menolak klaim atas pekerjaan tersebut sampai pihak lain telah melaksanakan kewajibannya secara sepatutnya berdasarkan kontrak.
Jenis _Exceptio non adimpleti contractus_ ini hanya berlaku pada perjanjian timbal balik yang mewajibkan para pihak dalam melakukan prestasi.
Penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus, lebih mudah dipahami dengan menelusuri contoh sebagaimana dapat ditemukan dalam pelaksanaan jual beli.
Dalam perjanjian jual beli, penjual dan pembeli memiliki kewajiban yang mesti dilakukan sebelum mendapatkan hak mereka masing-masing.
Berdasarkan Pasal 1478 KUHPerdata, disebutkan bahwa “penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya”
Ini berarti kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang menjadi objek jual beli tertunda sampai pembeli membayarkan sejumlah harga yang telah ditetapkan.
Sedangkan dari sisi pembeli, dapat dilihat dalam Pasal 1513 KUHPerdata, bahwa _“kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan ditempat sebagaimana yang ditetapkan menurut perjanjian”._
Oleh karena itu, untuk mendapatkan barang yang diperjual belikan pembeli harus terlebih dulu memenuhi kewajibannya, yaitu membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Mengingat bahwa didalam suatu perjanjian timbal balik prestasi dari masing-masing pihak berhubungan erat satu dan yang lainnya. Apabila salah satu pihak menuntut pemenuhan kewajiban dari pihak lain, maka ia sendiri mesti sudah menyelesaikan apa yang menjadi kewajibannya.
Dalam hal ini, jika pembeli belum membayar harga pembelian, maka ia tidak bisa menuntut penjual untuk memberikan barangnya.
Apabila pembeli tetap bersikukuh untuk menuntut penjual memberikan barangnya tersebut padahal ia sendiri belum membayarkan harga pembeliannya itu, barulah mestinya penjual punya alasan untuk menggunakan _exceptio non adimpleti contractus.
Karena, penjual tidak melakukan prestasi tersebut justru disebabkan pembeli jelas-jelas belum memenuhi prestasi yang diwajibkan.
Selain itu, ada supplier yang mensuplai barang tertentu kepada seseorang, guna kepentingan dalam suatu proyek. Namun akibat keterlambatan pensuplaian itu, menyebabkan pengerjaan proyek terhambat dan kontraktor terlambat dalam menerima pembayaran.
Adapun menurut Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan jual beli ataupun supplier dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah kedua belah pihak mencapai kata sepakat tentang barang dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar, hal ini sesuai asas konsensualisme dalam perjanjian yakni sepakat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Di dalam hukum Indonesia sendiri keberadaan _exceptio non adimpleti contractus_ sebagai salah satu prinsip hukum keperdataan masih diakui. Jejak keberadaannya tersebut dapat ditelusuri dalam beberapa putusan pengadilan.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat salah satu yurisprudensi mengenai prinsip _*exceptio non adimpleti contractus adalah*_ Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor 156 K/SIP/1955 dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Company melawan Oei Ho Liang dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel.
Kasus tersebut bermula dari PT. Pacific Oil yang melakukan tuntutan kepada tergugat Oei Ho Liang sebagai penjual dalam perjanjian jual beli karet, dimana karena kelalaian tergugat dalam menjalankan perjanjian, tergugat harus membayarkan ganti rugi.
Dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950 telah menyatakan tergugat tidak akan menyerahkan barang-barang tersebut.
Maka dengan hal tersebut tergugat dinyatakan lalai. Selanjutnya hal tersebut ditangkis oleh tergugat dengan dalih bahwa penggugat telah lalai dalam melakukan prestasinya, yaitu dengan tidak membayarkan sejumlah harga yang disepakati pada tanggal 12 Januari 1950 pada waktu 12.00 WIB.
Adapun tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta karena penggugat sendiri telah lalai, maka tidak berhak mengajukan tuntutan sesuai dengan Pasal 1267 KUH Perdata, adapun banding yang pernah dilakukan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pada tanggal 2 Desember 1953 dengan putusan nomor 218/1953 P.T. Perdata. dimana berdasarkan putusannya hakim menyatakan, penggugat telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu, maka penggugat tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian kerjasama tersebut.
PT. Waskita Karya untuk melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam kasasinya, PT. Waskita Karya memberikan alasan bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 Ayat (3) UU No.4 tahun 1998 tentang adanya hutang yang jatuh tempo dan salah menerapkan adanya hutang pada kreditor lain.
Namun Majelis hakim berpendapat bahwa kasus tersebut termasuk kedalam prinsip exceptio non adimpleti contractus yang seharusnya diselesaikan melalui pengadilan biasa.
Selanjutnya terdapat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat dijadikan rujukan, yaitu Putusan MA RI Nomor 23K/N/1999 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst.
Dimana pada intinya menyampaikan bahwa _penyelesaian perkara berkaitan dengan masalah exceptio non adimpleti contractus dalam perjanjian timbal balik ditambah masalah ipso jure compensatur (perjumpaan hutang demi hukum) tidak diselesaikan dengan menggunakan prosedur peradilan niaga melainkan harus melalui mekanisme penyelesaian perdata biasa, karena diperlukan pembuktian yang rumit dan berkepanjangan.
Gugatan pailit PT Prima Jaya Informatika kepada PT Telkomsel diawali pada saat perjanjian kerja sama telah dilanggar oleh salah satu pihak
Pada tanggal 14 September 2012 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membuat putusan nomor 48/PAILIT/2012 PN.Niaga.Jkt.Pst yang isinya sangat mengejutkan yaitu bahwa PT. Telekomunikasi Selular yang selanjutnya disebut sebagai PT. Telkomsel dinyatakan pailit.
Pengadilan Niaga memvonis pailit PT. Telkomsel atas permohonan pailit dari PT. Prima Jaya Informatika. Kemudian atas putusan tersebut PT.Telkomsel mengajukan kasasi.
Dalam putusan Kasasi dengan nomor putusan No. 704K Pdt.Sus/2012 diungkapkan bahwa pada awal tahun kedua berjalannya perjanjian kerjasama tepatnya pada tanggal 20 Juni 2012 PT. Prima Jaya Informatika menyampaikan Purchase Order dengan nomor NO.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027 dengan nilai Rp 2.595.000.000,00 (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta rupiah), kemudian pada tanggal 21 Juni 2012 PT. Prima Jaya Informatika menyampaikan Purchase Order dengan nomor No.PO/PJI-AK/VI 2012/00000028 dengan nilai Rp 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta rupiah), lalu PT. Telkomsel menerbitkan penolakan atas kedua Purchase Order tersebut melalui email.
Seperti halnya dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 653/Pdt/2019/PT Dki, prinsip _exceptio non adimpleti contractus_ dijadikan oleh salah satu hakim dalam majelis untuk mengutarakan _dissenting opinion_ saat memberikan putusan.
Meskipun hanya sekedar menjadi landasan untuk mengeluarkan _dissenting opinion,_ ini telah membuktikan bahwa prinsip tersebut hingga saat ini tetap eksis dalam sistem hukum yang berlaku.
Karena tentu saja prinsip tersebut tidak dapat serta merta diterapkan melainkan harus didukung oleh bukti-bukti kuat yang disampaikan dalam persidangan.
Sumber rujukan:
– Harahap, M. Yahya. 2017. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
– Sutantio, Ny. Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2019. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Edisi Revisi). Bandung: Mandar Maju.
– EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS PADA KASUS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI Hasna Farida Brilianto1 , Devi Siti Hamzah Marpaung2 1Fakultas Hukum, Ilmu Hukum,Universitas Singaperbangsa Karawang, Hasnafaridab@gmail.com 2 Fakultas Hukum, Ilmu Hukum, Universitas Singaperbangsa Karawang;
– IMPLIKASI PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERJANJIAN TERHADAP AKTA YANG DIBUAT Ray Irawan Al-Madrusi, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, e-mail: al.madrusi5@gmail.com Fully Handayani Ridwan, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, e-mail: fullyhandayani@gmail.com
– ASAS EXEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PENYELESAIAN
PERKARA KEPAILITAN ANTARA PT. TELEKOMUNIKASI SELULER DENGAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA Krisnadi Nasution Agustinus Iwan Setiyawan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118, Indonesia agustinus.iwan.hr @outlook.com.