Letakkanlah Kebenaran Pada Tempatnya

Letakkanlah Kebenaran Pada Tempatnya

Spread the love

Wartakum7.com |Kita sering mendengar ucapan dan tulisan membela kebenaran, menjunjung tinggi kebenaran, dan mempertahankan kebenaran pada setiap problematika yang terjadi dalam setiap dimensi

kehidupan. Asumsi tentang merasa benar dan rebutan merasa paling benar, memang isu yang paling hangat untuk di goreng dan tak kunjung usai untuk kita perbincangkan.

Kebanalan dan sarkasme bersikap untuk dan atas nama kebenaran pada era ini begitu masif mewarnai corak pergaulan dan hubungan sosial kita sebagai bangsa yang berdaulat. Diksi
membela, menjunjung tinggi, dan mempertahankan kebenaran merupakan atribut dan keheroikan yang selalu dikumandangkan pada setiap ajang memenangkan kompetisi dan
perebutan kekuasaan.

Drama berebut benar dan merasa paling benar pada setiap diri, kelompok, golongan, dan komonitas di tengah-tengah masyarakat pada setiap problematika yang sedang dihadapi dalam banyak peristiwa endingnya sering bermuara pada kesalahpahaman, pertikaian, permusuhan dan bahkan berujung tindakan anarkis, selalu saja terjadi dan berulang. Kita sering menyaksikan dan terkadang sebagai pelakunya, terlibat rebutan merasa benar untuk dan atas nama seolah-
olah kebenaran.

Setiap hari kita dapat menyaksikan berita-berita di kanal media sosial, televisi, koran online, youtube, dan grup-grup whatsapp tentang euforia perbuatan rebutan benar dan merasa paling benar untuk aneka rupa problematika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Silih berganti
dan terus akan selalu terjadi dari waktu ke waktu, menjamur dan tumbuh subur. Inilah realitas sosial yang mesti segera kita akhiri bersama.

Misalnya, lahan subur itu dapat kita saksikan tentang sikap dan perbuatan merasa benar dari kericuhan yang tungkus lumus atas langkah dan mahalnya harga minyak goreng, mulai dari pasar tradisional sampai super market kehabisan jualan minyak goreng. Di satu sisi rakyat kecil antrian
panjang dan rebutan untuk membeli minyak goreng yang harganya menjadi mahal. Di sisi yang lain pedagang, agen, dan distributor kehabisan stok. Pabrikan dan produsen minyak goreng yang
erat terkait dengan mata rantai hal ini, kehabisan minyak kelapa sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oli) sebagai bahan baku utama memproduksi minyak goreng.

Para petani dan owner kebun
kelapa sawit yang luas lahannya jutaan hektar, merasa bahwa mereka telah berhasil panen raya dan menjual kepada pabrikan dan produsen minyak goreng hasil panennya yang melimpah.
Begitupun para pejabat negara dan pemerintah sebagai pahlawan kebenaran yang membuat dan merangkap sebagai wasit regulasi perminyak-gorengan di tanah air dengan segala atribut
kekuasaannya, mereka pun merasa paling benar dengan segala alasan pembenarannya. Pada
konteks ini siapa, apa dan bagaimana kebenaran itu mesti kita sikapi dan letakkan?

Benang kusut yang tak kalah rumitnya tentang sikap merasa paling benar dan kita pun masih berbalahan yang tak henti-hentinya, yakni tentang politik identitas. Agama dan iman dijadikan
bantalan argumentasi untuk saling menyerang lawan politik sebagai kompetitor. Istilah binatang cebong, kampret, dan kadrun (kadal gurun) belum lekang dari ingatan dan kita jadikan satire untuk dan atas nama perjuangan merasa paling benar. Bagaimana ini? Pantaskah kita wariskan
kepada cucu dan cicit kita sebagai kebenaran komunal?

Ajang Formula E, perhelatan balapan mobil berenergi listrik top-markotop nomor wahid di dunia
yang menghabiskan anggaran APBN 500 M di Ancol, juga tak luput dari hiruk-pikuk berita viral merasa benar dan rebutan merasa paling benar yang memuakkan. Kaum oligarki negeri ini, seperti tak pernah kehabisan akal dan kehilangan momen merebut ceruk pasar mengiklankan kebenaran semu, sementara pada sisi pinggiran masih jutaan kaum marjinal yang tungkus lumus untuk mencukupi nafkah primer keluarganya. Inilah rekam jejak serba-serbi merasa paling benar
yang entah kapan akan berakhir di negeri ini?

Sekilas tentang diksi benar pada kognisi, afektif, dan psikomotorik pada setiap kelindan proses berpikir kita, memang mesti kita wujudkan dan refleksikan dalam habit, sikap, dan karakter pada setiap personal sebagai makhluk individu dan sosial. Agar terjadi kebenaran komunal yang holistik terhadap segala fenomena, peristiwa, dan momentum yang kita hadapi dan alami dari waktu ke waktu. Idealnya kita mempunyai kesepakatan dan konklusi dari setiap problematika sosial yang terjadi. Dari sekian banyaknya perbedaan asumsi tentang benar dan kebenaran yang kita pahami, paling tidak kita dapat bersepakat untuk satu hal saja tentang hal ini.

Apakah semudah membolak-balik telapak tangan dalam praktiknya? Tentu tidak! Namun, paling tidak kita dapat bersepakat untuk tidak sepakat dalam banyak hal tentang merasa benar, akan tetapi kita tetap memberi ruang konklusi untuk satu hal tentang kebenaran, apabila hal ini menyangkut
kepentingan publik.

Diksi tentang benar dapat kita pahami dan maknai: sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah; tidak berat sebelah atau adil; lurus hati; dapat dipercaya cocok dengan
keadaan yang sesungguhnya; tidak bohong; sah; sangat sekali. Begitu KBBI menerangkan kepada kita.
Berbanding lurus dengan hal merasa benar dan rebutan paling benar, kita diperhadapkan dengan sikap, karakter, dan perbuatan serakah yang pelaku utamanya kaum oligarki negeri ini, dengan penuh ambisi dan tak pernah puas untuk melanggengkan kekuasaannya dengan segala alasan
pembenarannya. Paripurnannya situasi dan keadaan ini, kaum oligarki berada di pusaran pusat kekuasaan, baik eksekutif, legeslatif, dan yudikatif dengan beking utama partai politik. Kian
sempurnanya benang kusut ini dengan keterlibatan para cukong dan bandar yang berlebel konglomerat yang kepentingannya untuk melindungi gurita dinasti perusahaannya dan tentu pula
untuk menambah pundi-pundi keuntungan.

Mengapa sorotan tajam tentang merasa benar dengan segala argumentasi dan alasan pembenarannya, saya tujukan khusus kepada kaum oligarki sebagai perspektif yang saya teropong? Karena mereka menguasai kekuasaan negara dan pemerintah, mereka bisa dengan
masif mempengaruhi para pejabat berwenang membuat undang-undang dan segala regulasi yang ada berdasarkan kepentingan kelompoknya, mempengaruhi pejabat berwenang menyusun badget anggaran negara dan pemerintah, berkolusi dengan pejabat penegak hukum untuk menghindari jerat hukum, dan mereka pun melibatkan cukong dan bandar para konglomerat
aseng dan asing sebagai pemodal. Lengkap, solid, masif, dan submitnya kekuasaan yang mereka punyai, karena mereka pun berkolaborasi dengan partai politik sebagai beking pada setiap era rezim penguasa.

Saya dan mungkin juga anda yang berperan dan berposisi marjinal, selalu mengalami dampak langsung dari setiap sifat, sikap, habit, karakter, moral, akhlak, dan produk hukum yang mereka buat menjadi konsensus bersama. Peran aktif dan kontribusi besar kaum oligarki kekuasaan negeri ini membuat sesak batin, tidak memihak, tidak adil, dan merasa selalu benar dari setiap
keputusan dan kebijakannya. Pada situasi dan keadaan yang delematis ini, pilihan sikap dan posisi kita memang sulit. Namun, konsistensi kita pada prinsif dasar bangunan konstruksi berpikir dan berkarakter sadar diri, jujur diri, dan tahu diri, mesti kita rawat dengan setia dari waktu ke
waktu.

Dalam hal di mana kita mesti berbuat mengambil peran dan berposisi, integritas kita menjadi prinsif dasar dan podomannya. Tentang mereka yang selalu merasa benar dan rebutan
benar, suatu saat mereka pasti digilas oleh roda zaman.

Adigium “kebenaran bisa dikalahkan tetapi tidak bisa disalahkan,” sengaja saya kutip pada konteks tentang merasa benar dan rebutan merasa paling benar pada setiap problematika yang
sering kita rasakan dan alami. Sebagai anasir terkecil dari keberadaan dan posisi kita sebagai rakyat yang hidup di rumah besar NKRI. Buat saya tidak penting untuk taklid buta membela
kebenaran, menjunjung tinggi kebenaran, dan mempertahankan kebenaran, cukuplah meletakkan kebenaran pada tempatnya dengan presisi. Bagaimana dengan anda?

Kembangan, 14 Juni 2022
Penulis : RU / Umar usman