Jakarta | Wartakum7.com – Satu dekade keanggotaan Pemerintah Indonesia di Open Government Partnership (OGP) sejak 2011 dan keanggotaan DPR RI pada Open Parliament Indonesia (OPI) sejak tahun 2018, Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam tata kelola data terutama data terkait tata kelola data anggaran, pelayanan publik, lingkungan dan sumber daya alam, keterbukaan kontrak (Pengadaan Barang dan Jasa dan Beneficial Ownership), dan data terkait proses-proses pembentukan kebijakan. Hal ini disebabkan karena masih belum maksimalnya pelibatan publik dalam proses-proses pengelolaan data dan stagnasi inisiasi Satu Data Indonesia (One Data) dan Satu Peta (One Map).
Menyempitnya civic space di masa pandemi; masih ada masalah terkait transparansi dalam penanganan pandemi (anggaran, fasilitas kesehatan, jaminan sosial, bantuan sosial, insentif tenaga kesehatan, program vaksinasi, pengadaan darurat dan non darurat); satu dekade keanggotaan OGP pun belum mampu menyelesaikan persoalan reformasi birokrasi, peningkatan kualitas layanan publik, korupsi dan minimnya inovasi yang substansial untuk perbaikan; tertutupnya partisipasi politik warga dalam mempengaruhi proses-proses kebijakan.
Persoalan-persoalan penting dalam menjamin hak masyarakat atas akses keadilan juga masih terjadi terutama hak bagi kelompok rentan atas identitas kewarganegaraan, akses perlindungan hukum bagi semua warga (no one left behind). Hal ini terjadi karena tiadanya keberpihakan institusi penegakkan hukum atas kelompok-kelompok rentan dan masih kurangnya dukungan pemerintah terhadap lembaga Organisasi Bantuan Hukum dan lemahnya peran bantuan hukum berbasis komunitas (paralegal).
Sementara itu, berbagai inisiatif di daerah sudah dikembangkan oleh masyarakat sipil dan beberapa pemerintah daerah untuk menciptakan praktik-praktik baik pemerintah terbuka dalam hal perbaikan data layanan publik, penanganan kesehatan, pendidikan, dan pengembangan sistem pengaduan masyarakat serta pengembangan forum-forum warga untuk meningkatkan peran warga dalam penanganan masalah-masalah yang dihadapi. Terbukti pada tahun 2021 terpilih 3 kabupaten, 1 kotamadya dan 1 provinsi menjadi anggota lokal OGP dengan seleksi yang ketat oleh Komite Seleksi OGP Support Unit Global yang berkantor di Washington DC, Amerika Serikat. Sebelumnya dari Indonesia hanya terpilih 1 kabupaten saja pada tahun 2016.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami Forum Masyarakat Sipil untuk Pemerintahan Terbuka dengan mengambil momentum Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil untuk Pemerintahan Terbuka ke-4 pada 25 – 29 Oktober 2021 via daring dan tanggal 02 – 03 November 2021 secara luring di Jakarta, memilih lima isu utama untuk akselerasi inisiatif ko-kreasi yang lebih bermakna bagi pembangunan yang lebih baik dan demokratis, yaitu: 1. Open Respon + Open Recovery COVID-19; 2. Access to Justice dan Pelayanan Publik; 3. Open Parliament dan Korupsi Regulasi; 4. Civic Space dan Gerakan Anti Korupsi di Era Pandemi; dan 5. Implementasi OGP Daerah.
Meskipun merupakan inisiator dan telah menjadi anggota selama 10 tahun, komitmen Pemerintah Republik Indonesia belum menunjukkan keseriusan dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip OGP, hingga saat ini belum memiliki payung hukum yang kuat sebagai dasar dalam perencanaan dan pelaksanaan OGP secara kolaboratif antara masyarakat sipil dan pemerintah. Pemerintah terkesan tidak menganggap rencana aksi OGP sebagai urusan wajib yang harus dipenuhi baik dalam program maupun anggaran.
Kami mengakui bahwa OGP adalah sebuah inisiatif yang bertujuan untuk mengamankan komitmen konkret pemerintah untuk mempromosikan dan mewujudkan transparansi, memberdayakan warga, memerangi korupsi, dan memanfaatkan teknologi memperkuat tata kelola pemerintahan. Komitmen ini menanggapi lima nilai utama: transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, inovasi dan inklusi.
Kami menghormati dan mendukung semangat OGP dan upaya-upaya untuk menciptakan keterbukaan pemerintah. Juga pelibatan masyarakat sipil dan pemberian ruang untuk para reformis dan inovator sebagai aktor utama demokrasi, tata kelola pemerintahan yang baik, dan pembangunan.
Berkaitan dengan itu dalam rangka meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pembaharuan secara terus menerus untuk kepercayaan publik terhadap negara, kami mendesak:
Pemerintah harus menerbitkan peraturan yang kuat sebagai pijakan implementasi OGP di Indonesia dalam bentuk Peraturan Presiden untuk menunjukkan komitmen dan keseriusan sebagai inisiator dan anggota OGP yang memasuki usia satu dekade. Regulasi pendukung (enabling environment) dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan implementasi OGP ke depan dan adanya tata kelola yang lebih terukur capaiannya.
Pemerintah wajib menjamin hak atas ruang kewargaan yang mengakui kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, kebebasan informasi, serta perlindungan saksi dan korban. Hal ini mengingat masih ada pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, surveilans dan pembatasan hak-hak sipil, represi digital terhadap suara warga dan tertutupnya akses informasi/dokumen publik di tingkat nasional dan daerah.
Pemerintah perlu mengedepankan pemulihan kesehatan masyarakat sebagai prioritas utama daripada memfasilitasi kepentingan para ‘pemburu rente’ dengan membuka dokumen kontrak pengadaan barang/jasa dalam penanganan COVID-19, termasuk pengadaan vaksin dan logistik pendukung vaksinasi, informasi terkait data surveilans, data mortalitas, serta data capaian vaksinasi nasional, khususnya untuk kelompok rentan yang masih sangat rendah.
DPR RI dan DPRD harus serius meningkatkan implementasi Open Parliament Indonesia (OPI) untuk menjamin hak partisipasi publik sebagai suara warga yang harus dipertimbangkan dan dihitung dalam proses pembentukan kebijakan publik demi mewujudkan parlemen yang modern dan berintegritas.
Pemerintah harus memperkuat internalisasi K/L lintas sektor mengenai komitmen OGP, mendukung pengembangan kolaborasi untuk melahirkan inovasi-inovasi baru, pelembagaan kebijakan kemitraan pemerintahan terbuka dan perluasan implementasi OGP Lokal di seluruh daerah yang didukung oleh kebijakan dan anggaran Pemerintah Pusat sebagai upaya akselerasi dalam mewujudkan “kedaulatan data”. (Rls/Red)