JAKARTA | Wartakum7.com – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan wacana amandemen konstitusi untuk menghadirkan kembali kewenangan MPR RI dalam menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tidak boleh ‘digoreng’ menjadi diskursus publik yang kontra-produktif dan destruktif. Karenanya, proses amandemen terhadap UUD perlu diawali oleh hadirnya konsensus dan komitmen. Khususnya dari unsur Partai Politik, agar konsisten dengan landasan pemikiran bahwa amandemen dilaksanakan secara terbatas terkait PPHN.
“Selain sebagai manifestasi pembangunan iklim demokrasi yang sehat, amandemen terhadap UUD adalah bagian dari implementasi visi kelembagaan MPR sebagai rumah kebangsaan yang harus menampung berbagai arus pemikiran. Sehingga dalam proses amandemen, kegiatan penyerapan dan pengelolaan aspirasi masyarakat harus dilakukan dengan mengedepankan pendekatan sikap kenegarawanan, bukan pendekatan pragmatisme politik,” ujar Bamsoet dalam Webinar Series MPR RI bersama Tribun Network Kompas Gramedia, ‘PPHN Memperkuat Konsensus Sistem Presidensil’, secara virtual di Jakarta, Selasa (16/11/21).
Turut hadir menjadi narasumber antara lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Anggota DPD-MPR RI yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Pengamat Parlemen Sebastian Salang. Hadir pula Direktur dan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network yang juga Moderator Diskusi Febby Mahendra Putra dan Domuara Ambarita.
Jimly Asshiddiqie menjelaskan, keberadaan haluan negara merupakan amanat para pendiri bangsa yang telah dilakukan melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), tercantum dalam Pasal 3 UUD 1945, bahwa MPR menetapkan UUD dan garis besar haluan negara. Lahir juga Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang salah satu isi pokoknya adalah KNIP ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Pada era pemerintahan Orde Lama, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) juga mengeluarkan dua produk hukum GBHN, yakni Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN. Serta Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969,” jelas Jimmly.
Jimly Asshiddiqie menekankan, rencana MPR RI menghadirkan haluan negara dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), dengan terlebih dahulu melakukan perubahan terbatas terhadap konstitusi, tidak akan membuka kotak pandora ataupun menjadi bola liar. Karena ketentuan amandemen sudah diatur dalam Pasal 37 ayat 1-3 UUD Negara Republik Indonesia 1945. Pada ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 237 dari 711 jumlah anggota MPR.
Di ayat 2 dijelaskan bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal konstitusi harus diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Sedangkan di ayat 3 dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 474 dari 711 anggota MPR.
“Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal konstitusi dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR. Dengan demikian tidak mungkin ada klausul perubahan lain diluar PPHN, seperti untuk memperpanjang masa jabatan presiden ataupun perpanjangan periodisasi jabatan kepresidenan,” pungkas Jimly. (*)